Rabu, 29 November 2017

stressssss anak

Bosan sekolah tidak jarang terucap dari pelajar. Jika lima tahun lalu didominasi mahasiswa, kini kebosanan bergeser ke usia sekolah dasar.
Dokter Hendro Riyanto SpKJ MM mengakui hal tersebut. ’’Mulai masuk kelas lima atau enam SD, anak sudah sering mengeluh bosan,’’ tutur psikiater yang berdinas di RS Jiwa Menur tersebut.
Meski kebosanannya sama-sama berujung depresi, menurut dia, pemicu stresnya berbeda. Pada remaja dan dewasa awal, stres disebabkan hormon dan pencarian jati diri. Pada rentang usia itu, rawan muncul pemikiran yang cenderung memberontak. Mereka mulai kritis dengan keadaan sekitar. ’’Perbedaan ini menjadi tekanan buat mereka,’’ ujar Hendro.

Sementara itu, jenuh belajar pada anak usia SD yang belakangan marak murni dipicu kebosanan. Penyebabnya, usia masuk sekolah yang terlalu dini.
Adanya preschool dan playgroup di satu sisi melatih anak bersosialisasi sejak dini. Di sisi lain, menurut dia, anak bisa jadi ’’terpaksa’’ sekolah. Meski pembelajarannya ringan, anak tetap dapat beban belajar. Plus anak akan ’’bersaing’’ dengan teman-temannya. Padahal, anak usia kurang dari tujuh tahun masih suka bermain.
’’Contohnya saja, anak menjawab benar dapat stiker satu. Tapi, lihat temannya dapat stiker lebih banyak, dia jadi iri. Ada juga yang malu,’’ kata Hendro memberikan contoh.
Pria 61 tahun itu menuturkan, tekanan juga muncul dari orang tua. Tuntutan untuk dapat nilai baik dan juara kelas bisa jadi pemicu stres. Meski demikian, stres ibarat pedang bermata dua. Bagi anak yang pada dasarnya cerdas dan berjiwa kompetitif, tuntutan tersebut bisa jadi eustress alias stres yang baik. Mereka akan tertantang jika dihadapkan tugas yang sulit. Les-les di luar jam sekolah bukan masalah.
Dalam kondisi tertentu, eustress bisa menjadi distress atau stres yang buruk. Apalagi bila anak dituntut untuk terus-menerus berkutat dengan belajar, tanpa waktu main. Contohnya, M (nama samaran). Anak kelas lima SD itu tampak asyik membaca majalah anak-anak saat ditemui di ruang IRD RS Jiwa Menur kemarin (2/1). ’’Dia memang senang membaca, tapi setengah mati malasnya ketika diminta membaca buku pelajaran atau bikin tugas rumah,’’ ungkap Devi, nama samaran, ibunda M.
Devi menjelaskan, M bersekolah di SD swasta berstatus internasional dan tergolong anak yang cerdas. Dia tidak pernah keluar dari lima besar tertinggi di kelasnya. Sejak kelas lima, M sering mengeluh bosan sekolah. Bahkan, les tari dan bahasa asing yang sempat diikutinya ditinggal begitu saja.
Ibu dua anak tersebut menambahkan, sulungnya sering dihukum karena ketahuan sibuk sendiri ketika pelajaran. Mulai ngobrol dengan teman sebangku, mencorat-coret catatan, hingga ketahuan membaca cerpen. ’’Kadang dia juga dipanggil karena tidak mengerjakan PR atau alasan buku ketinggalan,’’ ungkap Devi sedih.
Dalam menghadapi kasus serupa M, orang tua berperan penting. Orang tua yang terlalu sibuk bisa jadi awal masalah anak. Karena terbatasnya waktu ayah atau ibu berada di rumah, anak kurang memiliki quality time dengan orang tua.
Menangani stres terhadap anak, orang tua dan guru wajib tahu karakter anak. ’’Anak usia TK dan SD itu kan masih senang-senangnya main. Ya sudah, beri mereka waktu main. Jangan diberi PR atau tugas terus,’’ tegas Hendro. Dosen FK Universitas Widya Mandala itu menganjurkan orang tua tidak memberikan terlalu banyak les.
Untuk mencegah stres yang berakibat depresi, kuncinya terletak pada komunikasi. Sekadar mengajak si kecil menceritakan harinya di sekolah sudah cukup. Kebiasaan bertutur ’’zaman bapak/ibu muda dulu’’ malah membuka jarak dengan anak. Selain anak jengkel tidak diberi solusi, cerita masa lalu itu kadang tidak nyambung dengan keadaan sekarang
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Kepala Sekolah

Kepala Sekolah
Yuliana Mulia, S.Pd