Tahun 2014 Tidak Ada Ujian Nasional SD,
Sebuah “Simalakama”
"Kita tidak ingin mempertentangkan antara
pemetaan dengan kelulusan semua kita rangkum jadi satu. Kami sudah berdiskusi
dengan kawan-kawan MRPTN (Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri), sehingga UN
ini nanti bisa dipakai untuk terus melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi,"
Pemerintah meniadakan
ujian nasional (UN) untuk tingkat sekolah dasar (SD )pada tahun
2014, berkaitan dengan berlangsungnya pemilihan umum (Pemilu) legislatif.
Pemerintah menyerahkan pelaksanaan ujian bagi SD kepada provinsi.
"Meskipun
dilaksanakan di provinsi, tetapi standar nasional naskah soal UN tetap
dijaga," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh
di sela-sela meninjau implementasi Kurikulum 2013 di sejumlah sekolah di Bali,
Sabtu (23/11).
"Kami tetap
memberikan beberapa soal kunci sebagai bentuk standarnya. Kenapa penting?
karena nanti kalau tidak ada standarnya begitu anak pindah dari satu provinsi
ke provinsi lain kalau tidak memiliki standar yang sama justru akan menjadi
persoalan di belakang hari," katanya.
Sedang UN SMP/MTs dan SMA/MA/SMK tahun depan akan diselenggarakan pada bulan April usai hajatan Pemilu legislatif. Mendikbud mengatakan, UN memiliki empat fungsi, yaitu untuk pemetaan, melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, perbaikan, dan kelulusan.
Sedang UN SMP/MTs dan SMA/MA/SMK tahun depan akan diselenggarakan pada bulan April usai hajatan Pemilu legislatif. Mendikbud mengatakan, UN memiliki empat fungsi, yaitu untuk pemetaan, melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, perbaikan, dan kelulusan.
"Kita tidak ingin
mempertentangkan antara pemetaan dengan kelulusan semua kita rangkum jadi satu.
Kami sudah berdiskusi dengan kawan-kawan MRPTN (Majelis Rektor Perguruan Tinggi
Negeri), sehingga UN ini nanti bisa dipakai untuk terus melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi," katanya.
Sementara penggandaan soal dilakukan secara regional dengan melibatkan partisipasi daerah. Satu regional akan menampung beberapa provinsi. "Dengan melibatkan daerah bisa mentekel beberapa persoalan yang menjadi kendala yaitu teknis dan distribusi," kata Menteri Nuh.
Kerahasiaan soal juga akan dijaga meliputi pengawasan, pembuatan soal sampai dengan percetakan. "Soal ujian nasibnya akan ditentukan oleh kerahasiaan. Begitu kerahasiaan hilang sudah tidak punya makna. Prinsip dasar kerahasiaan harus dijaga," kata Mohammad Nuh.
Sementara penggandaan soal dilakukan secara regional dengan melibatkan partisipasi daerah. Satu regional akan menampung beberapa provinsi. "Dengan melibatkan daerah bisa mentekel beberapa persoalan yang menjadi kendala yaitu teknis dan distribusi," kata Menteri Nuh.
Kerahasiaan soal juga akan dijaga meliputi pengawasan, pembuatan soal sampai dengan percetakan. "Soal ujian nasibnya akan ditentukan oleh kerahasiaan. Begitu kerahasiaan hilang sudah tidak punya makna. Prinsip dasar kerahasiaan harus dijaga," kata Mohammad Nuh.
Ada sebuah tanya besar ada kepentingan apa dibalik semua analisis yang bermula dari PP 32 Tahun 2013 ini. Penyelenggaraan
UN selama ini sepertinya tidak cukup memberikan kontribusi sebagai barometer
pendidikan Indonesia. Masalah sebenarnya
bukan pada teknis atau distribusi atau pun pada “suasana” UN itu, tetapi
prosentase penentuan kelulusan yang 60% oleh UN dan 40% oleh US (Ujian
sekolah). Sementara substansi
permasalahan bukan pada siswa namun pada system pendidikan hingga kualitas
guru. UNESCO menyatakan 80% keberhasilan
belajar adalah oleh guru. Artinya bukan instrument
keberhasilan pendidikan Indonesia salah satunya UN, yang harus diganti, karena “hanya”
merupakan alat ukur standard nasional, tetapi system pendidikan dan kualitas
guru harus juga diganti juga. Saat ini
KTSP mau di ganti KUR 2013, guru sudah banyak yang sertifikasi, walau
kompetensinya harus terus di uji lagi. kondisi ini melahirkan kebingungan "masal", guru sebagai pelaksana teknis di kelas belum kenal "sosok" kur 2013 walau sudah ikut pelatihan, pengawas secara jujur belum memadai, sementara siswa berjalan dalam kabut kebingungan itu. mau kemana?
UN hanyalah alat
ukur yang dibuat untuk mengukur kondisi tinggi rendahnya, naik turunnya, mutu
tidaknya perjalanan pembelajaran nasional Selama satu tahun pembelajaran, dan
bukan penentu kelulusan siswa dalam belajar.
Seharusnya evaluasi keberhasilan siswa adalah hak sekolah, terutama
sekolah-sekolah yang sudah terakreditasi oleh pemerintah.
Model masalisasi
ujian nasional seperti selama ini juga menjadi suatu hal yang “bias” mutu. Sementara kurikulum KTSP saja menyiratkan
penguasaan kompetensi dan bukan materi belajar, artinya guru sendiri seharusnya
menjadi penguji utama dalam Ujian terutama yang sudah tersertifikasi..
Polemik UN iya dan tidak, dan carut marutnya penyelenggaraan UN, serta
fakta-fakta “aneh” didalam nya harus
diakui dan diterima sebagai prestasi pendidikan nasional yang “baru bisa sampai
situ”. Semoga ini bukan simalakama,
serba salah, melainkan suatu keputusan yang sadar, bukan kesepakatan semata,
keyakinan bukan keinginan.
0 Comments:
Posting Komentar